Beranda | Artikel
Lebih dari 100 Keutamaan Orang Berilmu dari Kitab Miftah Daar As-Saadah
Jumat, 12 Agustus 2022

Berikut adalah ringkasan dari pembahasan Ibnul Qayyim dari kitab Miftah Daar As-Sa’aadah mengenai keutamaan orang berilmu.

 

Keterangan: nomor urut yang dalam kurung (# …) adalah nomor urut di kitab Miftah Daar As-Sa’adah karya Ibnul Qayyim.

 

Daftar Isi tutup

Pertama (#11): Orang berilmu berbeda dengan orang tidak berilmu

Sebagaimana penduduk surga dan neraka itu tidaklah sama.

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ

Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. Az-Zumar: 9)

Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

لَا يَسْتَوِي أَصْحَابُ النَّارِ وَأَصْحَابُ الْجَنَّةِ ۚ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمُ الْفَائِزُونَ

Tidaklah sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni jannah; penghuni-penghuni jannah itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 20)

 

Kedua (#12): Orang tidak berilmu disifati a’maa (buta, tidak melihat)

Allah Ta’ala berfirman,

أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَىٰ ۚ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ

Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.” (QS. Ar-Ra’du: 19)

Hanya ada ‘aalim (berilmu) atau a’maa (buta). Allah Ta’ala juga telah menyebutkan sifat orang yang bodoh dengan shummun, bukmun, umyun (tuli, bisu, dan buta). Lihat Miftah Daar As-Sa’aadah, 1:219.

 

Ketiga (#13): Orang yang berilmu yang bisa memandang kebenaran

Allah Ta’ala berfirman,

وَيَرَى الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ الَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ هُوَ الْحَقَّ وَيَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ

Dan orang-orang yang diberi ilmu (Ahli Kitab) berpendapat bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itulah yang benar dan menunjuki (manusia) kepada jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” (QS. Saba’: 6)

 

Keempat (#14): Orang berilmu jadi rujukan bertanya

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ ۚ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ahludz dzikri dalam ayat ini adalah orang yang berilmu yang memahami wahyu yang diturunkan pada para nabi.” (Miftah Daar As-Sa’aadah, 1:220)

 

Kelima (#17): Al-Quran menjadi ayat yang jelas di sisi ahli ilmu

Allah Ta’ala berfirman,

بَلْ هُوَ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُورِ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ ۚ وَمَا يَجْحَدُ بِآيَاتِنَا إِلَّا الظَّالِمُونَ

Sebenarnya, Al Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim.” (QS. Al-‘Ankabut: 49)

Al-Quran itu di sisi orang berilmu: (1) ayat yang jelas; (2) tetap di hati orang beriman..

 

Keenam (#18): Allah memerintahkan pada Nabi Muhammad untuk meminta tambahan ilmu

Allah Ta’ala berfirman,

فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ ۗ وَلَا تَعْجَلْ بِالْقُرْآنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُقْضَىٰ إِلَيْكَ وَحْيُهُ ۖ وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا

Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”.” (QS. Thaha: 114)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Cukup dengan ayat ini yang menunjukkan keutamaan orang berilmu karena Allah benar-benar memerintahkan nabi-Nya Muhammad untuk meminta kepada-Nya tambahan ilmu.” (Miftah Daar As-Sa’aadah, 1:221)

 

Ketujuh (#19): Derajat orang berilmu itu bertambah

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadilah: 11)

Ayat lainnya,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا ۚ لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.” (QS. Al-Anfaal: 2-4)

Dalam ayat lainnya disebutkan,

وَمَنْ يَأْتِهِ مُؤْمِنًا قَدْ عَمِلَ الصَّالِحَاتِ فَأُولَٰئِكَ لَهُمُ الدَّرَجَاتُ الْعُلَىٰ

Dan barangsiapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan beriman, lagi sungguh-sungguh telah beramal saleh, maka mereka itulah orang-orang yang memperoleh tempat-tempat yang tinggi (mulia).” (QS. Thaha: 75)

Dalam ayat lainnya disebutkan,

وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا , دَرَجَاتٍ مِنْهُ وَمَغْفِرَةً وَرَحْمَةً ۚ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar, (yaitu) beberapa derajat dari pada-Nya, ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisaa’: 95-96)

Di empat tempat disebutkan naiknya derajat untuk orang beriman. Orang beriman tentu berasal dari ilmu naafi (ilmu yang bermanfaat) dan amal saleh. (Lihat Miftah Daar As-Sa’aadah, 1:221-222)

 

Kedelapan (#20): Imannya orang berilmu diakui

Allah Ta’ala berfirman,

وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا

قُلْ آمِنُوا بِهِ أَوْ لَا تُؤْمِنُوا ۚ إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًا

وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولًا

Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian. 

Katakanlah: “Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi ilmu sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud,

dan mereka berkata: “Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi”.” (QS. Al-Isra’: 106-108)

 

Kesembilan (#21): Orang yang berilmu, merekalah ahlul khasyah, yang paling takut kepada Allah.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Fathir: 28)

Dalam ayat lain disebutkan,

جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۖ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ

Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (QS. Al-Bayyinah: 8)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ahlul khasyah, yang paling takut kepada Allah adalah ulama, ahli ilmu. Balasan yang disebutkan dalam dua dalil diatas ditujukan kepada ahli ilmu.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:223).

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

كَفَى بِخَشْيَةِ اللَّهِ عِلْمًا ، وَكَفَى بِالاغْتِرَارِ بِاللَّهِ جَهْلا

“Rasa takut kepada Allah Ta’ala sudah cukup dikatakan sebagai ilmu. Anggapan bahwa Allah tidak mengetahui perbuatan seseorang, sudah cukup dikatakan sebagai kebodohan.” (HR. Ibnu Mubarak dalam Az-Zuhd, hlm. 15; Ahmad dalam Az-Zuhd, hlm. 158; Ath-Thabrani dalam Al-Kabiir, 9:211; Ad-Darimi, 1:106; Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 2:95. Kalimat ini berasal dari Masruq. Dinukil dari Miftah Daar As-Sa’adah, 1:223).

 

Kesepuluh (#22): Hanya orang berilmu yang memahami permisalan dalam Al-Qur’an

Allah Ta’ala berfirman,

وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ ۖ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ

Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (QS. Al-‘Ankabut: 43)

Sebagian salaf jika melewati suatu yang berisi permisalan dalam Al-Qur’an lantas mereka tidak memahami, mereka menangis dan mengatakan, “lastu minal ‘aalimiin, aku bukanlah seorang yang berilmu.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:223).

 

Kesebelas (#26): Siapa yang dianugerahi ilmu, ia berarti telah diberikan kebaikan yang banyak.

Allah Ta’ala berfirman,

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

Allah menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS. Al-Baqarah: 269)

Ibnu Qutaibah dan jumhur berpendapat bahwa al-hikmah adalah mencocoki kebenaran dan mengamalkan kebenaran tersebut. Hikmah itulah ilmu yang bermanfaat dan amal saleh. Demikian disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Miftah Daar As-Sa’aadah, 1:224.

 

Keduabelas (#27): Mendapatkan ilmu berupa Al-Qur’an dan Al-Hikmah dan diajarkan oleh Allah apa yang tidak kita ketahui adalah nikmat dan karunia.

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا

Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.” (QS. An-Nisaa’: 113)

 

Ketigabelas (#28): Nikmat ilmu itu wajib disyukuri.

Allah Ta’ala berfirman,

كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ

Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 151-152)

 

Keempat belas (#29): Allah menyuruh malaikat sujud penghormatan kepada Adam, karena Adam diberikan karunia ilmu. 

Allah Ta’ala berfirman,

وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَٰؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

قَالُوا سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!” Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.” (QS. Al-Baqarah: 31-32)

 

Kelima belas (#31): Allah mencela orang bodoh dalam banyak tempat.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَوْ أَنَّنَا نَزَّلْنَا إِلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةَ وَكَلَّمَهُمُ الْمَوْتَىٰ وَحَشَرْنَا عَلَيْهِمْ كُلَّ شَيْءٍ قُبُلًا مَا كَانُوا لِيُؤْمِنُوا إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ يَجْهَلُونَ

Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka, niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al-An’am: 111)

Dalam ayat lain disebutkan,

أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ ۚ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ ۖ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا

atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (QS. Al-Furqan: 44)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Allah tidak hanya menyifatkan orang tidak berilmu serupa dengan al-an’am (hewan ternak), bahkan mereka disebut tersesat, salah jalan.” (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:227)

 

Keenam belas (#32): Ilmu itu hayatun (kehidupan) dan nurun (cahaya).

Sedangkan, kebodohan adalah mawtun (kematian) dan zhulmatun (kegelapan). Kejelekan itu sebabnya karena tidak adanya kehidupan dan cahaya, sedangkan kebaikan itu sebabnya karena adanya cahaya dan kehidupan.

Baca juga: Ilmu Agama itu Bagai Cahaya Penerang

 

Ketujuh belas (#33): Anjing yang dilatih dan tidak dilatih saja berbeda hasil tangkapannya. Hal ini berarti sudah pasti berbeda antara orang yang berilmu dan tidak berilmu.

Allah menjadikan hasil buruan dari anjing yang tidak dilatih sebagai bangkai yang haram dimakan. Hal ini berbeda dengan hasil buruan dari anjing yang telah dilatih. Inilah yang menunjukkan keutamaan yang berilmu dibanding yang tidak berilmu. 

Baca juga: Permisalan antara Anjing yang Cerdas dan Tidak Cerdas

 

Kedelapan belas (#34): Nabi Musa saja disuruh bersafar untuk belajar pada seorang alim (Nabi Khidr).

Perhatikan ayat berikut.

وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِفَتَاهُ لَا أَبْرَحُ حَتَّىٰ أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا

“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun“.” (QS. Al-Kahfi: 60)

قَالَ لَهُ مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰ أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا

“Musa berkata kepada Khidhr: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (QS. Al-Kahfi: 66)

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan ayat di atas bahwa Musa itu datang bukan untuk memberikan ujian, tetapi ia benar-benar ingin belajar untuk ditambahkan ilmu. Inilah yang menunjukkan keutamaan ilmu. Karena nabi Allah Musa ‘alaihis sallam–sekaligus menjadi Kalimullah (yang berbicara langsung dengan Allah)–itu bersafar sampai mengalami keletihan dalam safarnya untuk mempelajari tiga masalah dari seorang alim. (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:234)

 

Kesembilan belas (#35): Tidak semua orang disuruh pergi berjihad, harus ada yang tinggal untuk tafaqquh fid diin (belajar agama).

Allah Ta’ala berfirman, 

۞ وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah: 122)

Dalil ini juga sebagai bukti masih boleh menerima berita dari khabar wahid (kabar satu orang, bukan kabar mutawatir).

 

Kedua puluh (#36): Manusia menjadi sempurna dengan mengenal kebenaran (berilmu), beramal, berdakwah, dan bersabar.

Allah Ta’ala berfirman,

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr: 1-3).

Kata Ibnul Qayyim dalam Miftah Daar As-Sa’adah (1:236), “Manusia menjadi sempurna jika ia menyempurnakan dirinya sendiri dan orang lain. Penyempurnaan ini dengan memperbaiki ilmu dan amal. Perbaikan kekuatan ilmiah dengan beriman. Perbaikan kekuatan amaliyah dengan beramal saleh. Menyempurnakan yang lain dengan mengajarkan dan bersabar, lalu bersabar dalam berilmu dan beramal.” 

https://rumaysho.com/29364-lebih-dari-100-keutamaan-orang-berilmu-dari-kitab-miftah-daar-as-saadah.html